Kamis, 05 Desember 2019

"PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN YANG MERATA"
Permasalahan yang terjadi
Permasalahan utama pembangunan kesehatan saat ini antara lain adalah masih tingginya disprasitas kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan dengan tingkat sosial ekonomi tinggi, di kawasan barat Indonesia, dan dikawasan perkotaan cenderung lebih baik. Sebaliknya status kesehatan penduduk dengan sosial ekonomi rendah di kawasan Timur Indonesia dan di dareah masih tertinggal.
Permasalahan selanjutnya adalah beban ganda penyakit yang belum teratasi seperti penyakit menular yang diderita oleh masyarakat diantaranya : Tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare dan kesehtaan gigi dan mulut
Di sisi lain kualitas pemerataan dan keterjaungkauan pelyanan kesehatan masih rendah. Kualitas pelayanan menjadi kendala karena tenaga medis sangat rendah dan alat yang terbatas.
Masalah Tenaga Kesehatan
Indonesia saat ini mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7 dokter umum, 2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga kesehatan masyarakat, per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 0,5 sarjana kesehatan masyarakat, 1,7 apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi, dan 4,7 tenaga sanitasi. Kondisi tenaga kesehatan pada tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan itu karena sistem pendidikan masih belum bisa menghasilkan tenaga kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, serta sistem perekrutan dan pola insentif bagi tenaga kesehatan kurang optimal. Di samping itu, jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan masyarakat masih belum memadai sehingga banyak puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua pertiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali. Disparitas rasio dokter umum per 100.000 penduduk antarwilayah juga masih tinggi dan berkisar dari 2,3 di Lampung hingga 28,0 di DI Yogyakarta.
Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya, banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Susenas 2004 menunjukkan bahwa masih banyak penduduk (29,8 persen) yang harus menunggu setengah hingga satu jam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan. Sebagian masyarakat (8,1 persen) menyatakan kurang atau tidak puas dengan pelayanan kesehatan dan 33,21 persen menyatakan cukup puas.
Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan, kebijakan umum pembangunan kesehatan diarahkan pada 1)peningkatan upaya pemeliharaan, pelindungan, dan peningkatan derajat kesehatan dan status gizi terutama bagi penduduk miskin dan kelompok rentan;
2)peningkatan upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit baik menular maupun tidak menular;
3)peningkatan kualitas, keterjangkauan, dan pemerataan pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama bagi keluarga miskin, kelompok rentan dan penduduk di daerah terpencil, perbatasan, rawan bencana dan konflik;
4)peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan terutama untuk pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan;
5)penjaminan mutu, keamanan dan khasiat produk obat, kosmetik, produk komplemen, dan produk pangan yang beredar, serta mencegah masyarakat dari penyalahgunaan obat keras, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan bahan berbahaya lainnya; dan
6)peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dalam perilaku hidup bersih dan sehat.
7) Peningkatan tenaga kesehatan gigi dan mulut

Kamis, 15 Agustus 2019

Pengaruh Musik Terhadap Tingkat Kecemasan Anak pada Saat Cabut Gigi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 
kecemasan anak
Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki masalah gigi dan mulut sebesar 25,9% dalam 12 bulan terakhir. Khususnya provinsi Jawa Tengah tercacat memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut sebesar 25,4% dan hanya sekitar 31,1% yang menerima perawatan dan pengobatan gigi dan mulut dari tenaga medis (Perawat gigi, Dokter gigi, atau Dokter gigi spesialis), sedangkan 68,9 lainnya tidak menerima perawatan gigi dan mulut. Secara keseluruhan dan keterjangkauan masyarakkat Indonesia untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi hanya sekitar 8,1%. (RISKESDAS, 2018).
 Perawatan gigi dan mulut yang dapat diterima oleh masyarakat terdiri dari beberapa jenis salah satu diantaranya adalah ektraksi gigi. Ekstraksi gigi merupakan proses pencabutan atau pengeluaran gigi dari tulang alveolar (Harty, 1995). Namun menurut penelitian yang dilakukan Wardle yang di kutip Tangkere pada tahun 2013 dalam penelitiannya mengenai gambaran tingkat kecemasan pada pasien saat menjalani prosedur ekstraksi gigi dengan mendengarkan musik mozart di pukesmas Tuminting menunjukkan bahwa prosedur ektraksi gigi merupakan prosedur yang membuat terjadinya kecemasan pada seseorang (Tangkere, 2013). 
Menurut World Health Organization (WHO) antara 1990 sampai 2013 jumlah orang yang mengalami kecemasan meningkat hampir 50%, yaitu sekitar dari 416 juta menjadi 615 orang, mendekati 10% dari populasi dunia. WHO memperkirakan bahwa dalam keadaan darurat 1 dari 5 orang akan mengalami kecemasan (WHO. Depression Anxiety Treatment, 2016). Berdasarkan riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2018, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditujukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan di Indonesia adalah sebesar 6% atau sekitar 14 juta orang ( RISKESDAS, 2018).

Kecemasan merupakan respon normal yang sering terjadi dan dialami oleh semua orang ketika menghadapi sesuatu yang di anggap mengancam dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang (Pusparatri, 2015). Didalam literatur kedokteran gigi istilah yang seing digunakan untuk menggambarkan kecemasan pasien ketika berada di klinik gigi disebut dental anxiety (Widayati, 2000). Kecemasan dental merupakan suatu kecenderungan merasa tidak nyaman terhadap perawatan gigi dan mulut (Koch & Poulsen, 2003). Kecemasan dental telah diidentifikasikan sebagai masalah yang signifikan dan umum pada anak-anak dan dianggap sebagai kendala dalam pemberian perwatan gigi yang berkualitas (Eli I, 1993. Dental Anxiety).

 Kecemasan dental pada anak biasanya terjadi pada kelompok anak-anak usia 6-8 tahun, usia tersebut merupakan usia dengan tingkat kecemasan tertinggi, dental anxiety pada anak usia 6-8 tahun biasanya timbul karena belum adanya pengalaman ke klinik gigi, mendengarkan pengalaman dari orang lain seperti teman atau anggota keluarganya yang sudah pernah ekstraksi gigi, atau kurangnya pengetahuan maupun informasi mengenai perawatan yang akan dilakukan. Kecemasan dental pada anak menyebabkan anak sering menunda bahkan menolak untuk dilakukan perawatan gigi dan mulut di klinik gigi. Hal tersebut dapat mengaibatkan bertambah parahnya kondosi kesehatan gigi dan mulut pada anak (Rehatta dkk, 2014). Kecemasan pada saat ektraksi gigi sering disebabkan oleh penggunaan benda-benda tajam seperti jarum, bein, dan tang yang dimasukkan secara bergantian kedalam mulu. Masalah serius bisa terjadi apabila kecemasan membuat pasien tidak bisa bekerjasama sehingga menghambat kinerja dokter atau peerawat gigi dalam melakukan prosedur ekstraksi gigi (Tangkere H). Saat pasien cemas juga terjadi stimulasi sistem saraf simpatis yang dapat mengakibatkan peningkatan curah jantung dan vasokontraksi anterior, sehingga meningkatkan tekanan darah (Berma A, 2009).

 Karena kecemasan pasien dianggap mempengaruhi kinerja dokter atau perawat gigi dalam melakukan tindakan maka kecemasan pasien perlu mendapatkan perhatian. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan pada pasien, salah satunya yaitu distraksi. Distraksi merupakan pengalihan perhatian pada sesuatu hal lain, hal ini bertujuan agar pasien fokus terhadap sesuatu hal lain agar tidak terfokus pada rasa nyeri yang di alami (Berman dkk, 2009). Distraksi visual merupakan salah satu teknik distraksi yang cukup baik karena mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Caranya yaitu memfokuskan perhatian pada sesuatu hal, misalnya mendengarkan musik (Maharezi, 2014). Mendengarkan musik merupakan salah satu cara yang mudah dan efektif untuk menrunkan kecemasan pasien anak sebelum mereka menjalani tindakan ekstraksi gigi. Mendengarkan musik ini juga telah dikembangkan sebgai terapi keperwatan untuk menangani kecemasan pada pasien, terbukti berguna dalam proses perawatan yaitu memberikan perasaan rileks kepada pasien 
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian tentang”Pengaruh Musik Terhadap Tingkat Kecemasan Anak Pada Saat Cabut Gigi”.

DAFTAR PUSTAKA
1.Anonim. 2018. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RisKesdas). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018. h.110. 
2.Yahya Nurani. dkk. 2016. “Gambaran Kecemasan Pasien Ekstraksi Gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Unsrat”. 
3.WHO. Depression Anxienty Treatment [Versi Elektronik]. 2016 
4.Abdillah Nova. Edwyan saleh. 2010. “Pengaruh Musik Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Dokter Gigi. Yogyakarta. 
5.Bachri Syamsul. dkk. 2017. “Perbedaan Tingkat Kecemasan Pasien Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Pencabutan di RSGM FKG Universitas Jember. Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol 5(No.1) 
6.Permatasari Resya. 2013. “Hubungan Kecemasan Dental Dengan perubahan Tekanan Darah Pasien Ekstraksi Gigi di Rumah sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGMP) Hj. Halimah”. Makasar. 7.Widiyaningtyas Sri. 2014. “Prevalensi Pasien Terhadap Rasa Cemas / Rasa Takut Sebelum Tindakan Pencabutan Gigi di RSGMP Kandea”. Makasar 
8.Huberty, T.J. 2004. Anxiety and anxiety disorders in children: information for parents [Versi elektronik]. 
9.Masitahapsari BN, Supartinah dan Lukito E. 2009. Pengelolaan rasa cemas dengan metode modelling pada pencabutan gigi anak perempuan menggunakan anestesi topikal, Majalah Kedokteran Gigi. 
10.Mantiri Melina. dkk. “Gambaran Kecemasan Pasien Menggunakan Terapi Musik Klasik pada Prosedur Ekstraksi Gigi di RSGM PSPDG FK Unsrat”. Manado. 
11.Prasetyo Eric. “Peran Musik Seabgai Fasilitas dalam Praktek Dokter Gigi Untuk Mengurangi Kecemasan Pasien”. 2005. Maj Ked Gigi (Dent J), Vol.38. No. 1